Pemanfaatan Bahasa Indonesia Pada Tataran Ilmiah, Semi Ilmiah dan Non Ilmiah

1.    Wacana Ilmiah
karya ilmiah (scientific paper) adalah laporan tertulis dan dipublikasi yang memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati oleh masyarakat keilmuan. Contoh :
makalah, laporan praktikum, skripsi, tesis, disertasi.

CONTOH:

Artikel: Pemilu 2014, Habis Gelap Terbitlah Terang Tanah Airku
Oleh : Suhendro
Calon Pemimpin
Pemilu 2014 sudah semakin dekat dan saatnya momentum ini digunakan secara tepat untuk memilih pemimpin yang mempunyai sifat “problem solving leader” atau pemimpin yang mampu membawa bangsa ini keluar dari persoalan besar yang dihadapi selama ini.
Indonesia ke depan membutuhkan pemimpin yang mampu menjawab persoalan besar bangsa seperti kemiskinan, pengangguran, ketidakmerataan, dan penegakan hukum, dan hal tersebut membutuhkan ketokohan yang teruji, kuat, berani, jujur, dan sudah terbukti dari rekam jejaknya.
Saat ini Indonesia terdapat 240 juta orang dan tidak sulit menemukan calon pemimpin yang mempunyai sifat problem solving leader, sebagai contoh Singapura yang negaranya hanya kecil hanya butuh satu sosok seperti Lee Kuan Yew untuk membuat negeri singa itu bisa besar seperti sekarang.
Sedangkan Malaysia juga hanya butuh seorang Mahathir Mohamad, namun saat ini rakyat Indonesia seakan dicekoki media untuk memilih pemimpin “salon”, yakni figur yang dipoles, penuh pencitraan, dan dibangun kehebatannya dengan kata-kata, bukan dengan fakta. Sudah saatnya kaum terpelajar, mahasiswa dan akademisi dimanapun ikut menentukan kepemimpinan bangsa Indonesia, jangan sudah masuk dalam zona nyaman kemudian tidak ikut memikirkan bangsa Indonesia.
Tahun 2014 sangat menentukan arah Indonesia, apakah akan membawa Indonesia ke negara maju atau justru negara gagal. Pemuda memiliki tanggungjawab yang besar dalam tatanan kehidupan masyarakat karena pemuda dipandang memiliki kemurnian idealisme.
Pemuda berperan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yakni peranan pemuda sebagai sebuah kekuatan moral, sebagai agen perubahan dan agen kontrol sosial dalam masyarakat. Potensi pemuda akan sia-sia bila pemuda masih dipandang sebagai potensi suara saja.
Untukmemperolehsuaradari pemuda maka caleg akan menggunakan strategi dengan memanfaatkan media sosial seperti twitter, dan facebook. Proses pemilu seharusnya dapat menjadi sarana dalam menciptkan pemilih-pemilih cerdas yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini.
Masalah DPT
Pelaksanaan pemilu sudah sebentar lagi, tanggal 9 April 2014 nanti kita akan melaksanakan pemilu legislative dan pilpres, banyak persoalan yang timbul,antaranya masalah Daftar Pemilih Tetap. Dalam kesempatan ini hendak mengajak dan meminta masukan dari masyarakat, tentang bagaimana system pelaksanaan pemilu di tahun 2014.
Pemilu sudah sebentar lagi kita hadapi, pemilu bisa di ibaratkan seperti permainan sepak bola, apa sih persamaannya antara sepak bola dan pemilu, persamaannya adalah dalam setiap pertandingan bola selalu ada peraturan begitu juga dalam pemilu, ada aturan yang berlaku, kemudian ada wasit yg memimpin jalannya pertandingan, dalam pemilu wasitnya ada KPU dan Bawaslu serta DKPP, setelah itu ada pemain yaitu parpol dan terakhir adalah suporter yaitu para pemilih/ masyarakat, dimana para pemilih adalah yang telah berusia 17 tahun, sudah menikah, atau sudah terdaftar di DPT.
Diluar hal tersebut juga ada yang namanya komentator pertandingan, dalam pemilu komentator tersebut adalah para LSM atau pemantau, seperti KIPP dan Perludem yang mengambil posisi sebagi komentator. Kemenangan dalam sebuah pemilu adalah kemenangan untuk masyarakat semua, bagaimana menuju kemenangan tersebut? persoalannya bagaimana menjadi pemilih cerdas, yakni bagaimana kita mengenal siapa saja yg menjadi bakal calon atau kandidat yang akan bertanding dan partai apa saja yang ikut serta.
Sekarang hal semacam tersebut bisa cek lewat situs KPU atau situs partai politik, seperti apa program dari parpol atau kandidatnya. Setelah meneluri siapa calonnya, hal yg penting pula yaitu jangan lupa memberikan hak pilih, system pilih yang dipakai sekarang adalah men-coblos.
Masyarakat yang kecewa dengan pilihan yang ada atau kecewa dengan pilihan kandidat yang telah dipilih karena tidak bisa menyeruarakan aspirasinya. Seperti, banyak perilaku kandidat yang hanya berfungsi sebagai“penunggu pohon” atau penunggu tiang listrik saja, tapi setelah bergaul dengan kawan kawan aktifis pemilu, pemikiran akan berubah.
Tahun 2014 nanti siap memilih, sekarang jauh lebih transparant. Kalau kita lihat para kandidat memang banyak yang tidak baik, tapi berbeda dengan aktifis pemilu ternyata mereka banyak yang baik. DPT adalah kata kunci jadi harus clean and clear, jangan sampai satu hak masyarakat terganggu dalam pileg dan pilpres. Satu suara itu sangat mempengaruhi hasil pemilu. Apalagi dari 3,3 juta DPT yang belum beres paling banyak di Jawa.
Fenomena Golput
tahun 2014 sekarang ini sebagai warga umum bisa melihat atau mencari informasi para kandidat di website KPU, jadi tidak ada alasan kalau kita tidak memilih karena tidak tau atau tidak kenal terhadap parpol atau kandidat yang ada. Orang yang golput masih bisa ikut dalam pemilih, kita punya keinginan agar kebijakan parlemen meningkatkan mutu kehidupan wanita.
Kita ingin pemimpin parlemen kita yg akan datang adalah calon yang bebas dari kejahatan pemilu, kejahatan lingkungan, kejahatan kemanusiaan atau kejahatan korupsi. Kalau hak pilih kita tidak digunakan, maka hak kita bisa dibuat sebagai rekayasa hasil pemilu dimana suara yang tidak terpakai digunakan untuk menambah suara dari pihak tertentu, sebetulnya masih ada orang-orang baik yang masih bisa dipilih, kalau tidak pilih, maka kekosongan itu akan di isi oleh orang yang kurang baik.
Sukses dan tidaknya pemilu 2014, serta pengetahuan kawulamuda dalam bidang politik sudah seharusnya mereka mendapat pembelajaran politik dengan baik dan benar, mengingat mereka juga sebagai penyumbang suara dalam pemilihan umum, yang akan berlangsung tahun 2014 mendatang.
Dengan telah dilaksankannya bimbingan tehnik (Bimtek) yang dilakukan oleh Panwaslu kepada para kawulamuda, terutama kepada para pelajar yang merupakan pemilih pemula, untuk ikut serta memantau jalannya pemilu, dengan demikian setidaknya panwas telah mengajak pemilih muda dan kawulamuda, untuk tidak golput dan tetap memantau jalannya pemilu mendatang.
Selain itu, dengan pengetahuan politik tentang pemilihan menjadi pemilih tersebut, setidaknya biasa mengenali kapabilitas orang-orang yang akan dipilihnya nanti. Untuk itu diharapkan kepada pemuda dan kawulamuda agar konsisten dengan apa yang sudah mejadi kenyakinannya masing masing dan tetap dapat menjaga situasi yang kondusif serta tidak golput.
Ancaman Pemilu
Menjelang Pemilu 2014, potensi pelanggaran akan semakin besar dan dapat dilakukan oleh semua pihak, karena itu perlu kerja sama semua pihak untuk mencegah atau menyelesaikan semua pelanggaran pemilu, demi menciptakan pemilu yang berkualitas dan dapat menghasilkan pemimpin yang dapat memberi kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Jangan sampai kita terjebak dalam perang suku dan agama serta jangan sampai kita terbalik-balik dalam menentukan peraturan yang sudah di tentukan oleh Pemerintah. Sebentar lagi kita akan melaksanakan pesta Demokrasi yaitu Pileg tahun 2014, yang mengamankan Pemilu adalah Polri, mulai dari Kapolsek hingga Kapolri yang dibantu oleh TNI, Sampai sekarang dana Pemuli belum cair atau keluar, padahal pelaksanaan Pemilu tinggal lima bulan lagi utk pelaksanaanya.
Seperti PDI Perjuangan akan memboikot Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden. Jika masalah DPT belum beres dan MK tidak mencabut keputusan yang membolehkan satu pemilih mencoblos lebih dari satu kali. Pelaksanaan Pileg 2014 sudah mulai masuk kepada tahapan yang harus dicermati dimana setelah penetapan DPT (Daftar Pemilih Tetap) pengawasan akan bertumpu pada pemasangan Alat Peraga Kampanye yang semakin hari kian menjamur dimasing-masing Dapil.
Anggota Panwascam harus dapat benar-benar mencermati hal ini dengan berpegang teguh pada aturan PKPU Nomor 15 tentang penetapan alat peraga masing-masing satu disetiap Desa. Pengawasan dilakukan oleh Panwascam merupakan antisipasi dari mencegah meluasnya pelanggaran yanga akan terjadi kedepan, sebagai bekal bila terjadi pelanggaran Panwascam harus menghayati UU Nomor 8/2012 serta Perbawaslu Nomor 4/2012 soal penindakan pelanggaran. Kendala Polisi dalam Menindaklanjuti Pelanggaran Pemilu, karena anggota Bawaslu dan masyarakat masih banyak yang takut bersaksi karena takut diintimidasi.
Padahal, dalam menyelesaikan pelanggaran pemilu, Polisi harus memiliki saksi dan bukti yang jelas dan kuat. Oleh karena itu, meminta Bawaslu tidak takut bersaksi ketika mendapatkan pelanggaran pada Pemilu 2014. Masyarakat juga diharapkan tidak mengubah keterangan dalam bersaksi, sehingga setiap pelanggaran pemilu dapat ditindak sesuai aturan yang berlaku.
Problem Kerjasama
Masalah KPU MOU dengn Lemsaneg itu seharusnya tidak perlu terjadi dan seharusnya Lemsaneg harusnya menjaga Negara, malah kerja sama dengan KPU. Seharusnya Lemsaneg harus netral karena pimpinan Lemsaneg adalah TNI Bintang Dua dan Polri harus netral, Presidennya dari Ketua Parpol dan pangkatnya Bintang Empat.
Jadi tidak menutup kemungkinan Bintang 2 (dua) di perintah Bintang 4 itu pasti siap, makanya MUO tidak perlu terjadi. Untuk kedepan Pilkada Gubernur akan dipilh melalui sidang DPRD, tetapi untuk Bupati/Walikota masih di godok DPR RI sampai sekarang belum selesai.
Radikalisme Politik
Semua menyadari Pemilu 2014 bukanlah jalan keluar dalam mengatasi masalah bangsa, namun Pemilu 2014 akan melahirkan masalah baru yang lebih berat, yaitu perpecahan bangsa. Karena itu, yang dibutuhkan saat ini, bukan semata berdebat soal masalah bangsa yang kian menumpuk dan membusuk. Kita butuh jalan keluar melaui Sidang Istimewa MPRS berdasarkan UUD 1945.
Namun, yang dimaksudkan dengan SI MPRS berdasarkan UUD 1945 bukanlah sidang yang dilaksanakan MPR saat ini yang beranggotakan para maling dan pengkhianat negara. Bukan juga sidang MPR yang dihasilkan oleh Pemilu 2014 dengan DPT ilegal, Parpol maling, Pemilu money politic. Dalam buku “Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014″, dalam ulasan komposisi legislatif, dijelaskan bahwa 502 anggota DPR periode 2009-2014 kembali mencalonkan diri dalam pemilu legislatif.
Jumlah tersebut setara dengan 89,6% dari total anggota DPR sebanyak 560 orang. Mereka mayoritas menempati nomor urut 1 dan 3. Tak ada perubahan konfigurasi politik pasca Pemilu 2014!!, Karena itu, yang kami maksudkan dengan SI MPRS berdasarkan UUD 1945 adalah sebuah kongresnya bangsa Indonesia atau musyawarah nasionalnya rakyat Indonesia, yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
SI MPRS dilaksanakan dan dihadiri langsung oleh wakil-wakil utusan golongan dan utusan daerah, yang merupakan wakil utusan suku suku bangsa, utusan agama (NU, Muhammadiyah, PGI, KWI, Hindu, Budha, Khong Hu Chu, dll.), utusan profesi seperti buruh, petani, nelayan, guruh, dokter, tentara, pengusaha, wartawan, utusan pemuda, dll. Dasar pelaksanaan SI MPRS adalah berubahnya pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang semula kedaulatan ada di tangan rakyat yang dilaksnakan oleh MPR menjadi kedaulatan ada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut kesepakatan dengan WTO, APEC, IMF, IMF, ADB dan WB.
Semakin banyak orang baik di partai politik maka partai politik akan menjadi baik. Orang baik jangan hanya menjadi penonton. Korupsi tidak mengenal partai politik, agama, ideologi ataupun kampus. Demokrasi tidak menimbulkan kesejahteraan bagi masyarakat tetapi masyarakat harus sejahtera sebelum berdemokrasi. Perubahan di dalam masyarakat tergantung dari haluan dan figur pemimpin. Politik tidak memerlukan pemilih yang cerdas tapi partai politik membutuhkan keberpihakan. Tidak mementingkan tua ataupun muda tetapi memerlukan orang orang yang jujur.
Kadarisasi Parpol
Kaderisasi instant menimbulkan tidak adanya ideologi dan visi dari parpol dalam menciptakan pemilih cerdas harus menghentikan politik uang. Kepercayaan masyarakat sangat menurun karena bayaknya anggota partai politik yang terlibat tindak pidana. Setiap pemuda mempuyai ritme yang berbeda untuk masuk dalam partai politik yaitu dengan memulai dengan bisnis atau masuk dalam Himpunan pegusaha. Pemuda harus mempunyai kreatifitas untuk masuk dalam partai politik.
Suara pemuda menentukan pemilu yang akan datang. PIDP melakukan rekrutmen dengan mengedapankan Ideologi Pancasila, loyal, nilai tambah (mempuyai modal danpengikut). Para pemuda harus lebih tampil di depan umum sebagai pengurus atau pelaksana dalam kegiatan. Kebayakan politisi hanya mencari mata pencarian di dalam partai politik dan para politisi itu tidak mempunyai kompotensi.
Partai PDIP dan Golkar merupakan partai yang mempunyai kaderisasi yang pintar dan kompoten. Partai politik harus menjemput bola dengan mencari kaderisasi yang lebih kompeten. Kampusharusterbukadan tidak harus steril dari politik, kampus juga harus membuat basar untuk.menghadirkan para partai politik.
“NKRI DI BANGUN OLEH PARA PEJUANG NEGERI AGAR KELAK BANGSA INDONESIA BISA BERJAYA DALAM SATU KESATUAN DEMOKRASI YANG UNIVERSAL UNTUK MENGANTARKAN RAKYATNYA MENCAPAI KEMAKMURAN”

Sumber : http://leuserantara.com/artikel-pemilu-2014-habis-gelap-terbitlah-terang-tanah-airku/

2. Wacana Semi Ilmiah

Wacana pada Tataran Semi Ilmiah merupakan wacana yang karakteristiknya berada di antara ilmiah dan non ilmiah.
Jenis-Jenis Wacana Semi Ilmiah : Artikel,Editorial,Opini,Feuture,Reportase.
Contohnya :
Opini dengan Tema Pendidikan
Pendidikan memiliki peranan yang teramat mendukung dalam pembangunan negeri ini. Apabila masyarakat terdidik, pemerintahan akan lebih mudah untuk dijalankan. Sebaliknya, jikalau masyarakat kurang intelek maka akan sulit untuk menerima program-program yang diberikan oleh pemerintah sehingga proses pembangunan daerah akan mengalami hambatan.
Dengan demikian, pemerintah daerah sudah sewajarnya mengusahakan untuk meningkatkan pendidikan apalagi di daerah-daerah terpencil. Tujuannya masih sama, supaya kelak dunia pendidikan mengalami peningkatan dan berdampak baik bagi pembangunan nanti.
Kebijakan-kebijakan yang pernah dibuat oleh dinas pendidikan daerah bisa terbilang cukup baik tapi masih memiliki kekurangan. Hal yang memicu ialah suatu kebijakan yang ada dewasa ini, belum mampu menghasilkan secara optimal dalam keimanan, moral, dan sopan santun.
Pendidikan kini rasanya masih mengesampingkan moral, padahal moral adalah aspek yang amat berperan dalam pendidikan. Contohnya, seperti pemilihan teks atau di buka paket yang terbilang tidak baik untuk moral siswa, yang akhir-akhir ini banyak ditemukan.


3. Wacana Non Ilmiah

Karangan nonilmiah adalah karangan yang menyajikan fakta pribadi tentang pengetahuan dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
Ciri-ciri karangan nonilmiah:

· ditulis berdasarkan fakta pribadi
· fakta yang disimpulkan subyektif
· gaya bahasa konotatif dan popular
· tidak memuat hipotesis
· penyajian dibarengi dengan sejarah
· bersifat imajinatif
· situasi didramatisir
· bersifat persuasive

macam-macam karya Tulis Non Ilmiah :
Dongeng, cerpen, novel, drama, dan roman
CONTOH :
Edelweis

Sejak kepergian Ayah, Ibuku adalah tulang punggung keluarga. Memang tidak terlalu berat. Karena, di dalam keluarga, hanya aku yang selalu merepotkannya dengan segala urusan sekolah hingga pribadi. Aku sayang Ibuku. Wanita yang sempurna itu selalu menjaga dan melindungi anak tunggalnya dengan baik, aku.
Sudah lebih dari delapan belas tahun Ayah meninggalkanku. Alasannya memang logis. Tapi, membuat Ibuku selalu merasa bersalah. Katanya, sewaktu Ibu mengandungku, Ibu meminta Ayah mengambilkan satu tangkai edelweis. Memang hanya satu tangkai, tapi untuk saat ini sulit menemukan pedagang edelweis di pelataran kaki gunung Bromo. Edelweis sudah lama dilindungi, oleh karena itu Ayah berusaha sendiri untuk naik ke puncak Bromo yang entah berapa suhu di atas sana.
Beberapa dari teman Ayah bilang, Ayahku meninggal karena kecelakaan. Tidak tahu betul bagaimana kejadiannya. Hanya saja, waktu itu kabut Bromo begitu tebal, membuat pendaki lain urung melanjutkan pendakian. Namun, tidak untuk Ayah. Demi istri tercinta beserta kandungan dalam rahim istrinya, Ayah bersikeras ke puncak Bromo. Dan, seminggu berikutnya, tim PMI menemukan jasad Ayah.
Begitu mengenaskan memang. Tapi, aku belajar satu hal pada Ayahku itu. Segala cita harus dicapai meski tanjakan dengan tebing-tebing curam selalu menghalangi. Tunggu, tentang Ibuku. Aku pernah meyakinkannya, agar tidak terlalu larut dalam rasa bersalahnya. Lagipula, menurutku aku yang mengada-ngada. Meminta bunga edelweis yang sulit untuk dicari. Akulah kesalahan sebenarnya.
Lamunan tentang Ayah membuatku tersadar. Bukan saatnya untuk merenungkan masa yang sudah berlalu. Kini masaku adalah belajar dan melanjutkan studi kuliah yang terhenti satu tahun karena urusan biaya yang kurang memadai. Satu tahun kosong itu, aku isi dengan bekerja sampingan menjadi guru Pramuka di SD. Walaupun hanya hari Jumat saja, tapi aku bersyukur bisa mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Maklum, ilmu Kepramukaanku tidak terlalu buruk walaupun tidak terlalu mahir pula. Sudah lama aku menyukai Pramuka.
Ada waktu seminggu aku libur kuliah. Aku tidak tahu harus mengisi waktuku dengan apa. Aku tidak mungkin mengajar Pramuka, jelas-jelas siswa SD pun sedang libur sekolah. Yup! Aku punya ide.
Ideku mendapat penolakan keras oleh Ibu. Mungkin, ia masih trauma dengan kejadian yang menimpa Ayah, maka beliau tidak mengizinkanku untuk mendaki Bromo. Aku tidak kehabisan akal. Aku terus memohon dan akhirnya Ibu mengizinkan. Namun, aku diperbolehkan untuk mendaki gunung Gede saja. Huh! Baiklah, aku harus bersyukur. Tapi, gunung Gede, kan, jauh.
Aku turun dari mobil umum yang sengaja aku sewa untuk mengantarku dengan kedua murid SD yang kuajar Pramuka. Aku sudah beberapa kali bicara kepada keduanya untuk serius. Karena pendakian tidak seperti kegiatan hiking yang biasa aku lakukan dua bulan sekali di kegiatan Pramuka. Namun, aku sadar betul fisik adalah kunci utama pendakian, kemudian disusul mental dan pengetahuan yang memadai, kurasa keduanya memiliki hal tersebut.
Kania dan Obit tepat berada di depanku. Mereka seolah pemandu wisata menyuruhku santai dulu di sebuah musala kecil, kemudian setelah salat dhuha, kami menuju Telaga Biru. Kami butuh waktu empat jam sampai disana. Memang cukup menguras tenaga. Sangat melelahkan.
“Nia, kenapa harus kesini dulu sih? Capek tahu! Kita belum pendakian, tapi capek karena tempat ini!” gerutu Obit. Pria berusia sepuluh tahunan itu terlihat sangat kelelahan. Begitu pula Kania.
“Aku nggak tahu kalau sejauh ini!” Kania mendengus kesal. Beberapa kali ia menghapus peluh yang terus membasahi pipi hitam manisnya.
“Pelajaran pertama. Tidak boleh bertengkar! Kalian udah janji sama kakak, kan? Kalau kalian serius buat pendakian ini?” ujarku menenangkan.
Aku memang tidak terlalu bisa membawa ketenangan dalam konflik sederhana seperti itu. Tapi, aku sudah belajar banyak dari pengalaman mengajari siswa-siswa SD yang kenakalannya tidak tertolong. Sungguh, kenakalan mereka bukan tentang kenakalan remaja yang negatif dan merajalela di zaman modern ini, tapi kenakalan karena tidak menuruti perintah orang yang lebih tua, meski kesalahan kecil.
“Iya Kak!” ucap Kania dan Obit bersamaan.
Kania dan Obit sibuk memotret Telaga Biru, telaga itu sangat indah ketika terpaan sinar matahari. Membuat air-airnya berwarna biru dan beberapa sudut membentuk warna yang lain. Huh, sungguh menakjubkan ciptaan Allah. Aku baru menyadari, setiap tempat yang aku pijak mempunyai keindahan yang berbeda-beda. Dan, manusia sebagai penikmat keindahan Tuhan sudah seharusnya menjaga itu.
Tiba-tiba sebuah cahaya dari balik lensa kamera membuatku silau. Pemilik kamera itu bukan Kania atau pun Obit. Sosok yang lain, sosok yang tidak aku kenal. Kurasa, dia pun tidak mengenalku.
“Kamu memotret saya?” tanyaku spontan.
Aku terbiasa ramah dengan orang. Aku pun cepat akrab dengan orang yang sebelumnya tidak aku kenal sekali pun. Namun, untuk orang satu ini, kurasa tidak sopan. Bagaimana mungkin orang tidak kenal memotret sembarangan? Dasar, orang kota! Tidak! Tidak, semua orang kota seperti dia.
“Oh ya? Maaf. Saya ingin memotret Telaga itu, namun potretan saya mengenai kamu. Baiklah, akan saya hapus!” ucapnya cepat. Tapi, aku tahu dia tidak sepenuhnya salah. Lagipula tempat ini terlalu ramai, jika ia bergeser sedikit, potretannya pun akan mengenai orang lain.
“Tak apa, disini memang ramai. Saya terlalu berlebihan!” sahutku enteng. Dia tersenyum padaku. Senyumnya tulus seperti senyum Kania, Obit dan beberapa siswa SD lainnya yang selalu senyum dan tertawa ketika memainkan berbagai permainan Pramuka yang kuajarkan.
Kania dan Obit sudah selesai dengan main-mainnya. Selanjutnya ia menemuiku yang masih duduk setia menunggu keduanya bermain dengan kamera mahal milik Obit. Setelah satu jepretan terakhir, kami pun beranjak dan berniat menuju perkemahan.
Tenda yang aku dirikan bersama Kania dan Obit adalah tenda dum yang instan. Aku tidak ingin merepotkan mereka. Lagipula kami hanya bertiga, tenda dum kurasa cukup untuk sekedar menghemat penyewaan tanah perkemahan sekaligus membuat kami hangat karena berdekatan.
“Kita kapan pendakiannya, Kak?” tanya Obit tak sabar. Pria berwajah Arab dengan alis tebal itu memang selalu penasaran dan tidak suka menunggu. Akhirnya, ia cepat-cepat masuk tenda dan tertidur. Berharap tidurnya mempercepat ia bertemu dengan hari esok. Lelaki kecil itu sangat bersemangat.
Kania masih setia menemaniku. Gadis mungil berkulit hitam manis itu sibuk bertanya tentang berbagai pengalamanku di sekolah. Aku menceritakan sebagian kecil hidupku. Dimulai dari aku yang suka dengan Pramuka, berkemah, pendakian dan yang terpenting adalah alam. Alam ciptaan Tuhan.
Sebuah langkah mendekati kami. Aku menoleh ke arahnya, begitu pula Kania. Namun, tidak seperti Kania yang masih kebingungan, aku yang sok-kenal tersenyum ramah dan menyuruhnya bergabung.
“Namaku Gema!” ucapnya ketika menyalami Kania.
“Kania, Kak!” sahut Kania polos. Ia menjabat tangan Gema.
“Cleopatra!” ujarku malu. Aku memang sedikit malu dengan namaku yang terlalu unik, imajinatif, atau apalah. Yang pasti, namaku sering membuatku tidak percaya diri. Namun, aku menyukurinya.
“Wow! Nama yang menakjubkan!” sahut Gema dengan tawa kecilnya. Terlihat meledek. Kania tersenyum kemudian bangkit meninggalkan kami, ia terlihat sangat lelah dan lemas sejak beberapa jam yang lalu.
“Kamu ngeledek namaku” aku mendengus kesal. Kemudian dia tertawa dan meminta maaf padaku. Aku memakai kaus tanganku.
“Saya nggak ngeledek. Justru saya takjub dengan nama kamu. Nama yang antik” tukasnya.
Obrolan kami belum berakhir. Mungkin dikhususkan untuk aku dan Gema. Karena, Kania sudah menyusul Obit untuk masuk ke dunianya yang lain, dunia di atas angan, dunia mimpi. Mereka memang butuh istirahat yang cukup untuk hari esok.
“Dia adik kamu?” tanya Gema. Ia sibuk menggosok-gosok telapak tangan kanan dan kirinya. Gema duduk di sampingku.
“Saya anak tunggal. Kania dan Obit yang sudah tidur sebelum kamu kesini itu adalah muridku” ujarku santai. Aku sama sepertinya, menggosok-gosok telapak tangan beberapa kali meskipun sudah memakai kaus tangan, kuperhatikan mulutnya yang mengeluarkan asap. Kurasa mulutku pun demikian.
“Kamu guru?” tanyanya lagi.
“Guru Pramuka tepatnya. Kalau guru beneran, kan, harus S1 dulu. Saya baru saja masuk kuliah mana mungkin jadi guru betulan!” sahutku seadanya. Gema masih tersenyum. Entah senyum untuk apa.
“Hebat ya! Saya saja yang sudah semester akhir kuliah tidak berpengalaman seperti kamu!” ujarnya merendah. Justru, bagiku dia terlihat sangat cerdas. Mengapa pula ia harus merendah di hadapanku?
“Jangan terlalu memuji. Saya tidak terlalu suka dengan pujian! Kamu kuliah dimana?” tanyaku gantian. Dia tersenyum, kemudian menjawab.
“Saya kuliah di Institut Pertanian Bogor, ambil Kehutanan. Saya memang suka alam, tapi belum sempat mendaki ke gunung lainnya. Cuma Gunung Gede saja yang lebih dari lima kali saya daki!” ujarnya sumringah. Pengalamannya cukup banyak, aku harus berguru padanya. Pria itu punya wajah sangat Indonesia, aku suka orang asli Indonesia. Aku suka orang-orang yang mencintai alam, alam ciptaan Tuhan dan aku khususkan untuk alam Indonesia.
“Hebat ya, kalau saya, ini kali pertama saya mendaki. Sebelumnya tidak pernah diizinkan. Ibu saya trauma dengan kecelakaan yang menimpa Ayah ketika mendaki Bromo. Ayah meninggal” ucapku lirih.
Entah apa yang membuatku seakrab itu dengan Gema. Pria dengan potongan rambut yang tidak teratur itu mendengarkan ceritaku dengan saksama, begitu pula sebaliknya. Aku selalu menjadi pendengar yang baik ketika ia antusias menceritakan pengalamannya tentang Gunung Gede.
Pagi begitu cepat. Matahari di ufuk timur nampak kemerahan. Indah sekali. Kania dan Obit sudah siap dengan segala peralatan yang dibutuhkan. Peralatan yang kira-kira hanya merepotkan kami tinggal di tenda perkemahan. Kami tidak ingin memperberat tas dengan benda tidak dibutuhkan.
Sekitar seperenambelas jalan, Kania sudah kelelahan. Aku dan Obit pun demikian. Namun, wajah Kania sudah dibanjiri ribuan tetes peluh. Obit mencoba menyemangati sahabatnya itu. Aku kembali melihat sebuah ketulusan dari persahabatan keduanya. Persahabatan dua anak kecil yang aku kagumi, aku harus belajar dari mereka. Belajar tidak menuntut ruang dan waktu, bukan? Belajar pada orang yang lebih muda apa salahnya?
Setelah lima menit beristirahat, kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Kania berada di barisan paling depan, kemudian Obit dan di ekor ada aku yang siap-siap menjaga mereka yang kalau-kalau merasa kelelahan. Rasa lelah itu kembali lagi.
“Kak, capek!” ujar Kania. Ia duduk dan segera meluruskan kedua kakinya. Obit lagi-lagi mendengus kesal pada sahabatnya yang baginya cengeng.
“Ayolah Nia, belum apa-apa ini, tuh!” ujar Obit menyemangati. Namun, terlihat seperti mengejek keadaan sahabatnya. Aku bertugas menghentikan pertikaian di antara keduanya. Dan, alhasil lima menit kemudian kami melanjutkan kembali perjalanan naik ini. Kania terlalu banyak minum air.
Baru waktu berputar selama empat puluh menit, Kania meminta istirahat kembali. Sepertinya, gadis yang tingginya sebahuku itu merasa tidak kuat dan kelelahan. Kurasa, aku harus mengakhiri. Namun, ada rasa sulit. Di sisi lain, Kania terlalu lemah dan Obit terlalu ingin ke atas sana.
“Kalau kamu nggak kuat, kita balik ke perkemahan saja. Nggak apa-apa nggak jadi muncak juga!” ucapku kemudian. Kania dan Obit sama-sama menolaknya. Untuk Obit, pria berusia sepuluh tahun itu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Sedangkan, Kania mempunyai fisik yang kuat di daerahku. Namun, disini. Ia bukan siapa-siapa. Aku tak tahu mengapa ia selamah itu. Perbedaan cuaca memang dapat membuat fisik seseorang drop. Dan, Kania mengalami itu.
“Kita lanjut lagi” ucap Kania. Obit merasa senang dengan kalimat itu, hanya saja aku ragu. Aku menahan bahu keduanya.
“Kania, kamu yakin mau melanjutkan? Kamu sudah banyak minum, kalau banyak minum malah membuatmu kelelahan” ujarku menasehati.
Aku mencegah keduanya. Berkata bahwa tidak baik memaksakan diri. Dan, Kania bersikap murung dengan rasa bersalahnya. Sementara, Obit sangat kesal dengan keputusanku. Akhirnya, kami istirahat lima belas menit di tempat ini.
Baru saja aku dan kedua anak di sampingku ingin melanjutkan pendakian. Seseorang yang kuharapkan muncul. Kurasa lebih Obit harapkan.
“Kak Gema?” ucap Kania. Aku menoleh ke arah belakang.
Gema tersenyum padaku. Aku tidak tahu pria itu sebenarnya. Hanya saja ia selalu hadir di waktu yang tepat dan membantuku menenangkan malaikat-malaikat kecil bernama Kania dan Obit. Mungkin, Gema adalah malaikat yang Tuhan turunkan untuk membantuku.
“Pak, duluan saja. Saya ada urusan sebentar!” ucap Gema pada rombongan yang bersamanya. Gema memang sendirian disini, jadi dengan pelancong yang lainlah dia bergabung. Ia duduk di sebelah Kania.
“Kenapa berhenti?” tanyaku datar. Aku sibuk memijat kaki Kania yang kram. Tanpa menjawab, Gema membuka ranselnya dan mengeluarkan beberapa perlengkapan P3K.
P3K. Bagaimana mungkin aku tidak membawa alat-alat itu?
“Pelajaran pertama, harus bawa P3K kesini. Obat kram juga harus ya, jangan minyak kayu putih melulu” ujarnya cengengesan. Aku tersenyum sedangkan Kania berterimakasih. Obit tidak terlalu memerhatikan. Ia melihat pemandangan indah di bawah kaki gunung, sementara beberapa kali ia melirik ke atas.
Sudah sepuluh menit kami belum juga beranjak. Kania memang sudah membaik, namun untuk melanjutkan pendakian, sangat tidak mungkin.
“Saya belum sempat bertanya, kenapa namamu Cleopatra?” tanya Gema kemudian. Aku kaku. Obit sibuk memijat kaki Kania.
“Itu keinginan mendiang Ayah, katanya, beliau ingin jika anak yang lahir perempuan diberi nama Cleopatra. Kalau laki-laki terserah Ibu. Dan, saya lahir perempuan. Setidaknya saya masih bagian dari sejarah. Putri Cleopatra yang kecantikannya tersohor di seluruh dunia. Mungkin itu alasan Ayah” ujarku setengah tertawa. Kania dan Obit yang sempat murung pun tertawa di dalamnya.
“Sugesti tentang Dewi Mesir itu sudah masuk dalam otak Ayahmu, ya!” Gema menambahi.
“Mungkin!” aku tertawa bersama ketiga manusia di sebelahku. “Kamu tidak melanjutkan perjalananmu?” tanyaku kemudian. Ia tersenyum kemudian menjawab.
“Lima hari lagi kekasihku ulangtahun. Saya ingin memberinya bunga edelweis, ya walaupun hanya setangkai saja. Setelah sampai alun-alun Surya Kencana saya turun. Jadi, santai saja!” ucap Gema datar.
Glek. Aku sudah salah. Tapi, memang aku kesalahan sebenarnya. Menyukai seseorang yang baru kukenal adalah kebodohan. Lagipula tidak seharusnya aku menyukai sosok pria manis sepertinya terlebih dia sudah mempunyai kekasih. Yup! Dia teramat menyayangi kekasihnya.
“Edelweis kan, sudah dilindungi. Mana boleh diambil?” sergahku.
“Memotong tangkainya sedikit tidak akan membuatnya punah. Justru bunga edelweis akan berregenerasi menjadi bertambah banyak!” ucapnya yakin. Aku tersenyum. Walaupun aku tidak yakin, aku menyetujuinya. Jelas-jelas dia mengambil sedikit, orang lain sedikit, berapa banyak orang yang mengambil, otomatis banyak pula pengambilannya.
“Bolehkah Obit ikut? Kania tidak mungkin melanjutkan, jadi saya dan Kania akan turun. Saya menitip Obit sama kamu, ya!” ucapku seadanya sekaligus memohon.
“Tentu. Kita ketemu dimana?” tanyanya kemudian.
“Telaga Biru. Dua hari cukup?”.
Gema mengangguk. Sedangkan Obit merasakan senang yang luar biasa, walaupun ia tidak sampai puncak Gunung Gede. Dan, akhirnya aku kembali bersama Kania. Meninggalkan Obit dengan Gema. Bagaimana mungkin aku begitu cepat mempercayainya?
Entah karena apa. Dua hari begitu cepat berlalu. Kania dan aku sudah di tepi Telaga Biru. Semoga kedua orang yang kutunggu ada di sana juga.
Baru saja aku sampai di tempat indah itu, Obit dan Gema sudah menunggu kami disana. Obit masih nampak sehat dan ceria. Mungkin ia terlalu bahagia bersama Gema. Entah apa yang membuatku percaya menitipkan Obit mendaki bersamanya. Ada sebuah titik kecil dalam hatiku yang mengharapnya. Namun, ini tidak boleh. Aku tidak boleh menyukainya.
“Terimakasih sudah menjaga Obit. Maaf kalau selama ini Obit bandel!” ucapku tulus.
Entah fisik apa yang dimiliki Obit. Pria itu sudah berhambur entah kemana bersama Kania. Atau mungkin mereka memang memberikan kesempatan untukku mengobrol dengan Gema.
“Justru dia yang menyemangatiku untuk terus jalan” ucapnya lugas.
Waktu berdetak cukup cepat. Tak ada lagi kata yang harus kuucap. Kurasa ia pun demikian. Aku masih dalam lamunanku menerawang dalam pada Telaga Biru yang katanya efek biru disebabkan ganggang yang hidup disana.
“Ra, apa mungkin kita bisa bertemu lagi?” tanya Gema datar. Ia sibuk memotret Telaga Biru dengan objek orang-orang disana. Aku menoleh ke arahnya sebentar. Seketika ia memotretku, aku tidak memarahinya.
“Mungkin saja” sahutku singkat.
“Boleh saya pinjam bolpoint dan secarik kertas?” tanyanya. Aku segera mengambil kertas pada tas kecilku. Mirip seperti buku catatan yang bagian tengahnya kusobek. Aku memerhatikan wajah manis Gema lagi.
“Sebutkan nomor ponselmu” pinta Gema. Aku hanya menurut. Setelah aku menyebutkan dua belas nomor ponselku. Dia segera menekuk kertas menjadi bagian cukup kecil. Ia langsung meletakannya pada dompet.
Suasana kembali hening. Aku dan dia memang belum saling mengenal. Bagaimana mungkin aku harus berkata tanpa jeda di hadapannya. Aku memang terkesan santai dan ramah, namun tidak untuk orang asing di sebelahku. Rasa singkatku membuat aku harus berpikir lama untuk melakukan itu.
“Saya memberi bunga edelweis pada kekasihku karena dia tidak menyukai bunga itu!” ucap Gema lemah. Wajah kuatnya seketika tidak bersemangat seperti sebelum-sebelumnya.
“Tidak menyukai? Bagaimana mungkin ada orang yang tidak menyukai edelweis?” tanyaku.
“Ada. Dan dia adalah kekasihku, Irene!” sahutnya lebih lemah dari sebelumnya.
“Kalau tidak suka, kenapa kamu beri padanya? Jika kekasihmu ulang tahun seharusnya kamu beri yang dia suka!” ujarku menggurui. Dia tertawa menggelak. Aku bingung.
“Karena saya tahu, dia tidak menyukaiku. Dan, edelweis sebagai tanda kalau saya pun tidak menyukainya” jelasnya lebih tidak kumengerti. “Di ulang tahunnya nanti, dia akan mengenalkan kekasih barunya di pesta itu. Dan, dengan sangat jelas saya akan diputuskan. Well, tidak mau terpuruk dengan keadaan aku melampiaskannya pada alam. Pada bunga edelweis yang aku suka” lanjutnya.
“Dia tega sekali” ujarku spontan. Aku menutup mulutku atas kesalahanku.
“Tidak. Saya tidak menyalahkan dia. Lagipula dia pantas mencari orang yang pas, orang yang lebih baik dari saya. Saya pun punya hak mencari orang yang lebih baik dari dia” ujarnya tersenyum. Seperti senyum yang dibuat-buat. Namun, aku sedikit lega.
“Great!” pujiku. Ia tersenyum.
Pria itu sangat tegar. Sangat bijak. Aku bertambah mengaguminya.
Waktu masih berjalan begitu cepat. Aku, Kania dan Obit harus kembali ke Malang. Gema masih di tempat itu. Mungkin untuk merenungkan kisahnya yang cukup pahit. Namun, aku belajar satu hal padanya. Setiap orang mempunyai hak untuk mencari pasangan yang lebih baik dari pasangan sebelumnya, namun dengan catatan bukan untuk orang yang sudah menikah.
Malang masih seperti biasanya. Sejuk dan asri. Kota yang aku rindukan itu tidak berubah. Tetap menjadi kota yang aku banggakan. Kuhirup semerbak bunga edelweis yang diambil Obit untukku. Bunga abadi ini teramat istimewa untukku. Bentuk pengorbanan Ayah untuk Ibu. Mungkin aku tak mendapatkannya ketika aku lahir, namun sekarang aku mendapatkan. Aku tahu, kenapa aku menyuruh ibu yang sedang mengandungku untuk meminta ayah mendaki. Betapa hebatnya bunga ini.
Baru saja aku menaiki mobil umum setelah keluar dari stasiun, ponselku yang semenjak beberapa hari tidak ada sinyal muncul berbagai pesan. Pesan dari Ibu yang tidak habis-habisnya memintaku untuk berdoa dan salat. Aku tidak lupa itu, Ibu. Beberapa pesan dari teman kampus yang rencananya mengajakku berkeliling Malang, dia memang orang baru di Malang.
Satu pesan yang entah harus senang atau sedih untuk membacanya. Gema.
Gema: Ini aku. Gema. Udah sampai Malang?
Belum sempat aku menjawab. Gema langsung meneleponku. Mungkin ia tahu, ponselku sudah aktif. Karena, sewaktu di Gunung Gede, memang tidak ada sinyal sama sekali. Pesan yang aku baca pun baru sampai.
“Hallo, saya sudah sampai Malang. Kamu sudah sampai rumah?” ujarku gugup. Obit dan Kania menyorakiku dengan ‘cie, cie’.
“Belum. Tapi, sudah sampai Bogor, masih perjalanan mau ke rumah. Kapan-kapan kita mendaki Bromo ya” ujarnya. Suaranya nampak lebih manis di telepon.
“Boleh. Nanti saya tidak lupa membawa obat kram!” sahutku singkat. Aku mendengar sebuah tawa dari seberang. Semoga Tuhan melindungi dia dengan segala kemungkinan terburuk yang menimpanya di pesta Irene, kekasihnya.
Sudah seminggu tidak ada telepon atau pesan masuk dari Gema. Pria itu hilang entah kemana. Apa peduliku? Dia hanya sekedar kenalan saat aku di Gunung Gede. Aku tidak perlu berharap terlalu banyak padanya. Untuk apa?
Tiba-tiba..
Gema: Saya sudah di stasiun. Kirim alamat rumah kamu, ya
Cleopatra: Mksd kamu?
Gema: Kirim aja
Setelah mengirim lengkap alamat rumahku. Dan, tidak butuh waktu satu jam Gema tepat di depan rumahku. Aku tidak mengerti apa yang ia pikirkan. Tapi, aku cukup senang dengan keberadaannya disini. Aku juga sudah mengirim pesan pada Kania dan Obit untuk main ke rumahku.
“Kenapa bisa sampai sini?” tanyaku bingung.
Rumah sederhanaku memang terbiasa sepi, apalagi kalau Ibu sedang menjual berbagai macam makanan olahan apel yang kami buat sendiri.
“Saya ingin menyelesaikan skripsi disini. Kamu bisa membantu saya, kan?” ujarnya manis. Aku tidak peduli dengan kisah cintanya dengan Irene. Yang pasti, semenjak perpisahan di Gunung Gede, Gema bukannya bertambah murung, justru keceriaan wajahnya tampil.
“Kamu punya saudara disini?” tanyaku. Namun, dia menggeleng. “Lalu, kenapa mencari tempat skripsi sejauh ini? Memang tidak bisa di Bogor?” tanyaku lagi. Dia tersenyum dengan cengiran konyolnya. Bertepatan dengan itu kedua orang yang kuanggap adik mengetuk pintu. Setelah bersalaman dengan Gema keduanya duduk. Rumah Kania dan Obit memang tidak jauh dari sini.
“Kenapa bisa kesini, Kak?” tanya Obit antusias.
Mungkin, pendakian sewaktu di Gunung Gede membuatnya akrab dengan Gema. Kania yang kakinya ditolong oleh Gema pun begitu antusias.
“Disini ngerjain skripsi. Dan satu hal. Saya sedang mencari orang yang lebih baik dari mantan kekasih saya. Dan, saya yakin disini tempatnya!” ujar Gema kemudian.
Deg! Aku tidak mengerti. Namun, Obit dan Kania meledekku dengan senyuman jahil anak-anak seusianya. Huh. Tak mungkin ia datang kesini hanya untukku. Tidak. Aku meyakinkan diriku sendiri.
“Aku memberi edelweis pada Irene karena dia tidak suka. Artinya, aku tidak menyukai dia” ujarnya bertele-tele. “Ini edelweis yang kamu suka” ujar Gema. Pria itu nampak begitu manis. Aku terdiam dan menerimanya saja.
“Artinya, kak Gema menyukai Kak Rara!” ledekan demi ledekan dilempar oleh Obit dan Kania. Aku tak tahu harus berkata apa-apa. Gema pun tidak memintaku untuk bicara apa-apa. Aku hanya tersenyum.
“Edelweis itu bunga abadi. Semoga!” ujar Gema kemudian.
Kami berempat tertawa. Sebuah keindahan yang diartikan bunga. Bunga yang sulit dicari. Bunga yang tumbuh subur di suhu yang dingin dan sulit digapai. Bunga yang tidak seindah mawar dan anggrek. Namun, satu-satunya bunga hidup yang abadi.

Cerpen Karangan: Sugesty Nurchadjati
Blog: malaikatelektronik.weebly.com

SUMBER :
http://vanitayosi.blogspot.com/2011/10/wacana-pemanfaatan-bahasa-indonesia.html
http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/edelweis.html

0 komentar:

Posting Komentar